Thursday, November 30, 2006

Flickr

This is a test post from flickr, a fancy photo sharing thing.

Thursday, November 23, 2006

20061123 Hujan Rintik Kamis Dini Hari

Saat ini jam menunjukkan pukul 01.30 WIB, kamis (23/11/2006) dini hari. Setelah beberapa lama tidak hujan, eh, dini hari ini ''tlethik'' alias gerimis kecil-kecil. Memang sudah lama dinanti hujan mengguyur tanah di tempatku. Hawa sangat panas, tiap hari keringetan. Ada istilah baru di sini, ''Hari Ngligo Nasional''. Kenapa disebut seperti itu, sebab tiap siang (kalo di rumah) aku memilih nggak pakai baju alias ''ngligo'' atau ''ote-ote''. Semoga saja hujan rintik dini hari ini merupakan tanda akan datangnya musim hujan yang dinanti.... :)

Jakal KM 5 Jogja
*Baru males pulang* mode on

20050514 Haznan tanpa merasa bersalah memasak styrofoam alias gabus di Pangkur 1 Jakal KM 5 Jogja :)

20050514 Haznan tanpa merasa bersalah memasak styrofoam alias gabus di Pangkur 1 Jakal KM 5 Jogja :)

20050514 Haznan tanpa merasa bersalah memasak styrofoam alias gabus di Pangkur 1 Jakal KM 5 Jogja :)

20050514 Haznan tanpa merasa bersalah memasak styrofoam alias gabus di Pangkur 1 Jakal KM 5 Jogja :)

20050514 Haznan tanpa merasa bersalah memasak styrofoam alias gabus di Pangkur 1 Jakal KM 5 Jogja :)

20050514 Haznan tanpa merasa bersalah memasak styrofoam alias gabus di Pangkur 1 Jakal KM 5 Jogja :)

20050514 Haznan tanpa merasa bersalah memasak styrofoam alias gabus di Pangkur 1 Jakal KM 5 Jogja :)

20050514 Haznan tanpa merasa bersalah memasak styrofoam alias gabus di Pangkur 1 Jakal KM 5 Jogja :)

20050514 Haznan tanpa merasa bersalah memasak styrofoam alias gabus di Pangkur 1 Jakal KM 5 Jogja :)

20050514 Haznan tanpa merasa bersalah memasak styrofoan alias gabus di Pangkur 1 Jakal KM 5 Jogja :)

20050514 Haznan tanpa merasa bersalah memasak styrofoan alias gabus di Pangkur 1 Jakal KM 5 Jogja :)

20050514 Haznan tanpa merasa bersalah memasak styrofoan alias gabus di Pangkur 1 Jakal KM 5 Jogja :)

20050514 aya tiwik belajar

20050514 aya tiwik belajar

20050514 aya tiwik belajar

20050514 pas bean maen ke pangkur

Djuwarto

Vattaya di Gentan umur 2 tahun

 

Waktu itu, Aya di bagian belakang rumah Gentan. Lucu-lucunya ya :) Posted by Picasa

Friday, October 13, 2006


20061013: Kawans Radar Jogja pada bukber di Pangkur, meriah dab....

20061013: Kawans Radar Jogja pada bukber di Pangkur, meriah dab....

20061013: Kawans Radar Jogja pada bukber di Pangkur, meriah dab....

20061013: Kawans Radar Jogja pada bukber di Pangkur, meriah dab....

20061013: Kawans Radar Jogja pada bukber di Pangkur, meriah dab....

20061013: Kawans Radar Jogja pada bukber di Pangkur, meriah dab....

20061013: Kawans Radar Jogja pada bukber di Pangkur, meriah dab....

20061013: Kawans Radar Jogja pada bukber di Pangkur, meriah dab....

Monday, August 28, 2006

Menghias Donut di Wahyu Austin




Aya baru belajar menghias donut, baru diajari sama mas Agus (Wahyu Austin, Pastry n Cullinary) 20060813

Anak-Anakku Sakit


Vattaya n Haznan baru sakit (Senin 20060821) pas aku kebagian gawean panjat pinang di ALun2 Selatan

Sunday, May 21, 2006

TUGAS UJIAN SEMESTER UAJY

Tugas MK Penulisan Naskah Berita
(Sebagai Pengganti Ujian Semester Genap 2005/2006)
Jumat 2 Juni 2006

Dosen: A Ikhwanudin SSos
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Atmajaya Yogyakarta


Dikenal sebuah tahapan kerja berupa peliputan yang merupakan starting point seorang wartawan menyusun tulisan (lebih sering disebut berita) agar diturunkan redakturnya. Untuk menghayati kinerja seorang wartawan dalam menulis beritanya, berikut tugas Anda melakukan kerja jurnalistik (membuat berita berformat straight news) hingga tahap ‘’berita dicetak di koran’’.
1. Lakukan reportase lapangan untuk mendapatkan berita!
2. Susun data (dokumen dan foto diutamakan) yang Anda dapatkan di lapangan tersebut menjadi sebuah berita yang menarik untuk disajikan dan dibaca pembaca koran Anda.
3. ‘’Cetaklah’’ berita tersebut dalam format dokumen berekstensi portable document format (pdf)
4. kirim tugas anda tersebut ke email saya: iwanudin@yahoo.com dengan aturan:
Subject: Tugas Ujian Semester PNB (spasi) nomor mahasiswa (spasi) nama mahasiswa.
Mohon dicermati aturan tersebut karena akan memudahkan saya melakukan dokumentasi dan filing tugas ujian dari Anda semua.

Kerjakan tugas dengan teliti, amati pemberitaan berformat straight news di media mass cetak agar Anda bisa memberikan sentuhan ‘’sesuai’’ dengan koran yang beredar. Semakin kreatif Anda mengerjakan tugas ini, semakin tinggi pula apresiasi saya. Juga, tingkat kesulitan pencarian tema berita menjadi pertimbangan memberi nilai akhir ujian semester Anda.

Terima kasih
Selamat mengerjakan

iwanudin

p.s: tugas dikumpulkan paling lambat hari Selasa tanggal 6 Juni 2006. Ada beberapa contoh peliputan berita: (1) Pengaruh aktivitas Gunung Merapi terhadap tingkat kedatangan turis ke Jogja. Wawancarai pelaku wisata (misalnya kalangan perhotelan, cari data kedatangan turis di bandara Adi Sucipto, datangi obyek wisata Kaliurang tanya penduduk di sana apakah ada penurunan kedatangan turis, jangan lupa ambil foto pendukung) (2) Delapan tahun reformasi, pengaruhnya kini. Wawancarai aktivis mahasiswa yang dulu pernah turun ke jalan menuntut turunnya penguasa Orde Baru, cari data tuntutan mahasiswa waktu itu (Mei 1998) dan buktikan apakah tuntutan itu sudah terpenuhi oleh penguasa sekarang? Dsb, silakan kembangkan sendiri.

Semakin tinggi tingkat kesulitan mendapatkan berita, kreatifitas dan keindahan hasil akhir menjadi penentu nilai akhir.

Sunday, April 23, 2006

Sembilan Elemen Jurnalisme

Sembilan Elemen Jurnalisme
Sebuah buku yang sebaiknya dibaca orang yang tertarik pada jurnalisme.

HATI nurani jurnalisme Amerika ada pada Bill Kovach. Ini ungkapan yang sering dipakai orang bila bicara soal Kovach. Thomas E. Patterson dari Universitas Harvard mengatakan, Kovach punya "karir panjang dan terhormat" sebagai wartawan. Goenawan Mohamad, redaktur pendiri majalah Tempo, merasa sulit “mencari kesalahan” Kovach.

Wartawan yang nyaris tanpa cacat itulah yang menulis buku The Elements of Journalism bersama rekannya Tom Rosenstiel. Kovach memulai karirnya sebagai wartawan pada 1959 di sebuah suratkabar kecil sebelum bergabung dengan The New York Times, salah satu suratkabar terbaik di Amerika Serikat, dan membangun karirnya selama 18 tahun di sana.

Kovach mundur ketika ditawari jadi pemimpin redaksi harian Atlanta Journal-Constitution. Di bawah kepemimpinannya, harian ini berubah jadi suratkabar yang bermutu. Hanya dalam dua tahun, Kovach membuat harian ini mendapatkan dua Pulitzer Prize, penghargaan bergengsi dalam jurnalisme Amerika. Total dalam karirnya, Kovach menugaskan dan menyunting lima laporan yang mendapatkan Pulitzer Prize. Pada 1989-2000 Kovach jadi kurator Nieman Foundation for Journalism di Universitas Harvard yang tujuannya meningkatkan mutu jurnalisme.

Sedangkan Tom Rosentiel adalah mantan wartawan harian The Los Angeles Times spesialis media dan jurnalisme. Kini sehari-harinya Rosenstiel menjalankan Committee of Concerned Journalists –sebuah organisasi di Washington D.C. yang kerjanya melakukan riset dan diskusi tentang media.

Dalam buku ini Bill Kovach dan Tom Rosenstiel merumuskan sembilan elemen jurnalisme. Kesimpulan ini didapat setelah Committee of Concerned Journalists mengadakan banyak diskusi dan wawancara yang melibatkan 1.200 wartawan dalam periode tiga tahun. Sembilan elemen ini sama kedudukannya. Tapi Kovach dan Rosenstiel menempatkan elemen jurnalisme yang pertama adalah kebenaran, yang ironisnya, paling membingungkan.

Kebenaran yang mana? Bukankan kebenaran bisa dipandang dari kacamata yang berbeda-beda? Tiap-tiap agama, ideologi atau filsafat punya dasar pemikiran tentang kebenaran yang belum tentu persis sama satu dengan yang lain. Sejarah pun sering direvisi. Kebenaran menurut siapa?

Bagaimana dengan bias seorang wartawan? Tidakkah bias pandangan seorang wartawan, karena latar belakang sosial, pendidikan, kewarganegaraan, kelompok etnik, atau agamanya, bisa membuat si wartawan menghasilkan penafsiran akan kebenaran yang berbeda-beda?

Kovach dan Rosenstiel menerangkan bahwa masyarakat butuh prosedur dan proses guna mendapatkan apa yang disebut kebenaran fungsional. Polisi melacak dan menangkap tersangka berdasarkan kebenaran fungsional. Hakim menjalankan peradilan juga berdasarkan kebenaran fungsional. Pabrik-pabrik diatur, pajak dikumpulkan, dan hukum dibuat. Guru-guru mengajarkan sejarah, fisika, atau biologi, pada anak-anak sekolah. Semua ini adalah kebenaran fungsional.

Namun apa yang dianggap kebenaran ini senantiasa bisa direvisi. Seorang terdakwa bisa dibebaskan karena tak terbukti salah. Hakim bisa keliru. Pelajaran sejarah, fisika, biologi, bisa salah. Bahkan hukum-hukum ilmu alam pun bisa direvisi.

Hal ini pula yang dilakukan jurnalisme. Bukan kebenaran dalam tataran filosofis. Tapi kebenaran dalam tataran fungsional. Orang butuh informasi lalu lintas agar bisa mengambil rute yang lancar. Orang butuh informasi harga, kurs mata uang, ramalan cuaca, hasil pertandingan bola dan sebagainya.

Selain itu kebenaran yang diberitakan media dibentuk lapisan demi lapisan. Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh tabrakan lalu lintas. Hari pertama seorang wartawan memberitakan kecelakaan itu. Di mana, jam berapa, jenis kendaraannya apa, nomor polisi berapa, korbannya bagaimana. Hari kedua berita itu mungkin ditanggapi oleh pihak lain. Mungkin polisi, mungkin keluarga korban. Mungkin ada koreksi. Maka pada hari ketiga, koreksi itulah yang diberitakan. Ini juga bertambah ketika ada pembaca mengirim surat pembaca, atau ada tanggapan lewat kolom opini. Demikian seterusnya.

Jadi kebenaran dibentuk hari demi hari, lapisan demi lapisan. Ibaratnya stalagmit, tetes demi tetes kebenaran itu membentuk stalagmit yang besar. Makan waktu, prosesnya lama. Tapi dari kebenaran sehari-hari ini pula terbentuk bangunan kebenaran yang lebih lengkap.

Saya pribadi beruntung mengenal Kovach ketika saya mendapat kesempatan ikut program Nieman Fellowship pada 1999-2000 di mana Kovach jadi kuratornya. Di sana Kovach melatih wartawan-wartawan dari berbagai belahan dunia untuk lebih memahami pilihan-pilihan mereka dalam jurnalisme. Tekanannya jelas: memilih kebenaran!

Tapi mengetahui mana yang benar dan mana yang salah saja tak cukup. Kovach dan Rosenstiel menerangkan elemen kedua dengan bertanya, “Kepada siapa wartawan harus menempatkan loyalitasnya? Pada perusahaannya? Pada pembacanya? Atau pada masyarakat?”

Pertanyaan itu penting karena sejak 1980-an banyak wartawan Amerika yang berubah jadi orang bisnis. Sebuah survei menemukan separuh wartawan Amerika menghabiskan setidaknya sepertiga waktu mereka buat urusan manajemen ketimbang jurnalisme.

Ini memprihatinkan karena wartawan punya tanggungjawab sosial yang tak jarang bisa melangkahi kepentingan perusahaan di mana mereka bekerja. Walau pun demikian, dan di sini uniknya, tanggungjawab itu sekaligus adalah sumber dari keberhasilan perusahaan mereka. Perusahaan media yang mendahulukan kepentingan masyarakat justru lebih menguntungkan ketimbang yang hanya mementingkan bisnisnya sendiri.

Mari melihat dua contoh. Pada 1893 seorang pengusaha membeli harian The New York Times. Adolph Ochs percaya bahwa penduduk New York capek dan tak puas dengan suratkabar-suratkabar kuning yang kebanyakan isinya sensasional. Ochs hendak menyajikan suratkabar yang serius, mengutamakan kepentingan publik dan menulis, “… to give the news impartiality, without fear or favor, regardless of party, sect or interests involved.”

Pada 1933 Eugene Meyer membeli harian The Washington Post dan menyatakan di halaman suratkabar itu, “Dalam rangka menyajikan kebenaran, suratkabar ini kalau perlu akan mengorbankan keuntungan materialnya, jika tindakan itu diperlukan demi kepentingan masyarakat.”

Prinsip Ochs dan Meyer terbukti benar. Dua harian itu menjadi institusi publik yang prestisius sekaligus bisnis yang menguntungkan.

Kovach dan Rosenstiel khawatir banyaknya wartawan yang mengurusi bisnis bisa mengaburkan misi media dalam melayani kepentingan masyarakat. Bisnis media beda dengan bisnis kebanyakan. Dalam bisnis media ada sebuah segitiga. Sisi pertama adalah pembaca, pemirsa, atau pendengar. Sisi kedua adalah pemasang iklan. Sisi ketiga adalah warga (citizens).

Berbeda dengan kebanyakan bisnis, dalam bisnis media, pemirsa, pendengar, atau pembaca bukanlah pelanggan (customer). Kebanyakan media, termasuk televisi, radio, maupun dotcom, memberikan berita secara gratis. Orang tak membayar untuk menonton televisi, membaca internet, atau mendengarkan radio. Bahkan dalam bisnis suratkabar pun, kebanyakan pembaca hanya membayar sebagian kecil dari ongkos produksi. Ada subsidi buat pembaca.

Adanya kepercayaan publik inilah yang kemudian “dipinjamkan” perusahaan media kepada para pemasang iklan. Dalam hal ini pemasang iklan memang pelanggan. Tapi hubungan ini seyogyanya tak merusak hubungan yang unik antara media dengan pembaca, pemirsa, dan pendengarnya.

Kovach dan Rosenstiel prihatin karena banyak media Amerika mengkaitkan besarnya bonus atau pendapatan redaktur mereka dengan besarnya keuntungan yang diperoleh perusahaan bersangkutan. Sebuah survei menemukan, 71 persen redaktur Amerika menerapkan sebuah gaya manajemen yang biasa disebut management by objections.

Model ini ditemukan oleh guru manajemen Peter F. Drucker. Idenya sederhana sebenarnya. Para manajer diminta menentukan target sekaligus imbalan bila mereka berhasil mencapainya.

Manajemen model ini, menurut Kovach dan Rosenstiel, bisa mengaburkan tanggungjawab sosial para redaktur. Mengkaitkan pendapatan seorang redaktur dengan penjualan iklan atau keuntungan perusahaan sangat mungkin untuk mengingkari prinsip loyalitas si redaktur terhadap masyarakat. Loyalitas mereka bisa bergeser pada peningkatan keuntungan perusahaan karena dari sana pula mereka mendapatkan bonus.


BANYAK wartawan mengatakan The Elements of Journalism perlu untuk dipelajari orang media. Suthichai Yoon, redaktur pendiri harian The Nation di Bangkok, menulis bahwa renungan dua wartawan “yang sudah mengalami pencerahan” ini perlu dibaca wartawan Thai.

I Made Suarjana dari tim pendidikan majalah Gatra mengatakan pada saya bahwa Gatra sedang menterjemahkan buku ini buat keperluan internal mereka, “Buku ini kita pandang mengembalikan pada basic jurnalisme,” kata Suarjana.

Salah satu bagian penting buku ini adalah penjelasan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel tentang elemen ketiga. Mereka mengatakan esensi dari jurnalisme adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.

Disiplin mampu membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni.

Mereka berpendapat, “saudara sepupu” hiburan yang disebut infotainment (dari kata information dan entertainment) harus dimengerti wartawan agar tahu mana batas-batasnya. Infotainment hanya terfokus pada apa-apa yang menarik perhatian pemirsa dan pendengar. Jurnalisme meliput kepentingan masyarakat yang bisa menghibur tapi juga bisa tidak.

Batas antara fiksi dan jurnalisme memang harus jelas. Jurnalisme tak bisa dicampuri dengan fiksi setitik pun. Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh pengalaman Mike Wallace dari CBS yang difilmkan dalam The Insider. Film ini bercerita tentang keengganan jaringan televisi CBS menayangkan sebuah laporan tentang bagaimana industri rokok Amerika memakai zat kimia tertentu buat meningkatkan kecanduan perokok.

Kejadian itu sebuah fakta. Namun Wallace keberatan karena ada kata-kata yang diciptakan dan seolah-olah diucapkan Wallace. Sutradara Michael Mann mengatakan film itu “pada dasarnya akurat” karena Wallace memang takluk pada tekanan pabrik rokok. Jika kata-kata diciptakan atau motivasi Wallace berbeda antara keadaan nyata dan dalam film, Mann berpendapat itu bisa diterima.

Kovach dan Rosenstiel mengatakan dalam kasus itu keterpaduan (utility) jadi nilai tertinggi ketimbang kebenaran harafiah. Fakta disubordinasikan kepada kepentingan fiksi. Mann membuat film itu dengan tambahan drama agar menarik perhatian penonton.

Lantas bagaimana dengan beragamnya standar jurnalisme? Tidakkah disiplin tiap wartawan dalam melakukan verifikasi bersifat personal? Kovach dan Ronsenstiel menerangkan memang tak setiap wartawan punya pemahaman yang sama. Tidak setiap wartawan tahu standar minimal verifikasi. Susahnya, karena tak dikomunikasikan dengan baik, hal ini sering menimbulkan ketidaktahuan pada banyak orang karena disiplin dalam jurnalisme ini sering terkait dengan apa yang biasa disebut sebagai objektifitas.

Orang sering bertanya apa objektifitas dalam jurnalisme itu? Apakah wartawan bisa objektif? Bagaimana dengan wartawan yang punya latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi, kewarganegaraan, etnik, agama dan pengalaman pribadi yang nilai-nilainya berbeda dengan nilai dari peristiwa yang diliputnya?

Kovach dan Rosenstiel menjelaskan, pada abad XIX tak mengenal konsep objektifitas itu. Wartawan zaman itu lebih sering memakai apa yang disebut sebagai realisme. Mereka percaya bila seorang reporter menggali fakta-fakta dan menyajikannya begitu saja maka kebenaran bakal muncul dengan sendirinya.

Ide tentang realisme ini muncul bersamaan dengan terciptanya struktur karangan yang disebut sebagai piramida terbalik di mana fakta yang paling penting diletakkan pada awal laporan, demikian seterusnya, hingga yang paling kurang penting. Mereka berpendapat struktur itu membuat pembaca memahami berita secara alamiah.

Namun pada awal abad XX beberapa wartawan khawatir dengan naifnya realisme ini. Pada 1919 Walter Lippmann dan Charles Merz, dua wartawan terkemuka New York, menulis sebuah analisis tentang bagaimana latar belakang kultural The New York Times menimbulkan distorsi pada liputannya tentang revolusi Rusia. The New York Times lebih melaporkan tentang apa yang diharapkan pembaca ketimbang melaporkan apa yang terjadi.

Lippmann menekankan, jurnalisme tak cukup hanya dilaporkan oleh “saksi mata yang tak terlatih.” Niat baik atau usaha yang jujur juga tak cukup. Lippmann mengatakan inovasi baru pada zaman itu, misalnya byline atau kolumnis, juga tidak cukup.

Byline diciptakan agar nama setiap reporter diketahui publik yang bakal mendorong si reporter bekerja lebih baik karena namanya terpampang jelas. Kolumnis adalah wartawan atau penulis senior yang tugasnya menerangkan suatu peristiwa dengan konteks yang lebih luas yang mungkin tak bisa dilaporkan reporter yang sibuk bekerja di lapangan.

Solusinya, menurut Lippmann, wartawan harus menguasai semangat ilmu pengetahuan, “There is but one kind of unity possible in a world as diverse as ours. It is unity of method, rather than aim; the unity of disciplined experiement (Ada satu hal yang bisa disatukan dalam kehidupan yang berbeda-beda ini. Hal itu adalah keseragaman dalam mengembangkan metode, ketimbang sebagai tujuan; seragamnya metode yang ditarik dari pengalaman di lapangan).”

Baginya, metode jurnalisme bisa objektif. Tapi objektifitas ini bukanlah tujuan. Objektifitas adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.

Sayang, dengan berjalannya waktu, pemahaman orisinal terhadap objektifitas ini diartikan keliru. Banyak penulis seperti Leo Rosten, yang mengarang sebuah buku sosiologi tentang wartawan, memakai istilah objektifitas buat merujuk pada pemahaman bahwa wartawan itu seyogyanya objektif.

Saya kira di Indonesia juga banyak dosen-dosen komunikasi yang berpikir ala Rosten. Ini membingungkan. Para wartawan pun, pada gilirannya, ikut meragukan pengertian objektif dan menganggapnya sebagai ilusi.

Bagaimana metode yang objektif itu bisa dilakukan? Kovach dan Rosenstiel menerangkan betapa kebanyakan wartawan hanya mendefinisikan hanya sebagai dengan liputan yang berimbang (balance), tidak berat sebelah (fairness) serta akurat.

Tapi berimbang maupun fairness adalah metode. Bukan tujuan. Keseimbangan bisa menimbulkan distorsi bila dianggap sebagai tujuan. Kebenaran bisa kabur di tengah liputan yang berimbang. Fairness juga bisa disalahmengerti bila ia dianggap sebagai tujuan. Fair terhadap sumber atau fair terhadap pembaca?

Kovach dan Rosenstiel menawarkan lima konsep dalam verifikasi:

* Jangan menambah atau mengarang apa pun;
* Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar;
* Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan reportase;
* Bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri;
* Bersikaplah rendah hati.

Kovach dan Rosenstiel tak berhenti hanya pada tataran konsep. Mereka juga menawarkan metode yang kongkrit dalam melakukan verifikasi itu. Pertama, penyuntingan secara skeptis. Penyuntingan harus dilakukan baris demi baris, kalimat demi kalimat, dengan sikap skeptis. Banyak pertanyaan, banyak gugatan.

Kedua, memeriksa akurasi. David Yarnold dari San Jose Mercury News mengembangkan satu daftar pertanyaan yang disebutnya “accuracy checklist.”

* Apakah lead berita sudah didukung dengan data-data penunjang yang cukup?
* Apakah sudah ada orang lain yang diminta mengecek ulang, menghubungi atau menelepon semua nomor telepon, semua alamat, atau situs web yang ada dalam laporan tersebut? Bagaimana dengan penulisan nama dan jabatan?
* Apakah materi background guna memahami laporan ini sudah lengkap?
* Apakah semua pihak yang ada dalam laporan sudah diungkapkan dan apakah semua pihak sudah diberi hak untuk bicara?
* Apakah laporan itu berpihak atau membuat penghakiman yang mungkin halus terhadap salah satu pihak? Siapa orang yang kira-kira tak suka dengan laporan ini lebih dari batas yang wajar?
* Apa ada yang kurang?
* Apakah semua kutipan akurat dan diberi keterangan dari sumber yang memang mengatakannya? Apakah kutipan-kutipan itu mencerminkan pendapat dari yang bersangkutan?

Ketiga, jangan berasumsi. Jangan percaya pada sumber-sumber resmi begitu saja. Wartawan harus mendekat pada sumber-sumber primer sedekat mungkin. David Protess dari Northwestern University memiliki satu metode. Dia memakai tiga lingkaran yang konsentris. Lingkaran paling luar berisi data-data sekunder terutama kliping media lain. Lingkaran yang lebih kecil adalah dokumen-dokumen misalnya laporan pengadilan, laporan polisi, laporan keuangan dan sebagainya. Lingkaran terdalam adalah saksi mata.

Metode keempat, pengecekan fakta ala Tom French yang disebut Tom French’s Colored Pencil. Metode ini sederhana. French, seorang spesialis narasi panjang nonfiksi dari suratkabar St. Petersburg Times, Florida, memakai pensil berwarna untuk mengecek fakta-fakta dalam karangannya, baris per baris, kalimat per kalimat.


MUSIM dingin tahun lalu ketika salju membasahi Cambridge, saya sempat berbincang-bincang dengan Bill Kovach tentang hubungan wartawan dan sumbernya. Saya katakan, pernah ketika mengerjakan suatu liputan, secara tak sengaja, keluarga saya berhubungan cukup dekat dengan keluarga orang yang diwawancarai.

Kami diskusikan masalah itu. Singkat kata Kovach mengatakan, bahwa seorang wartawan “tidak mencari teman, tidak mencari musuh.” Terkadang memang sulit menerima tawaran jasa baik, misalnya diantar pulang ketika kesulitan cari taksi, tapi juga tak perlu datang ke acara-acara sosial di mana independensi wartawan bisa salah dimengerti orang karena ada saja pertemanan yang terbentuk lewat acara-acara itu.

“Seorang wartawan adalah mahluk asosial. Don’t get me wrong,” kata Kovach. Asosial bukan antisosial.

Ini sedikit menjelaskan elemen keempat: independensi. Kovach dan Rosenstiel berpendapat, wartawan boleh mengemukakan pendapatnya dalam kolom opini (tidak dalam berita). Mereka tetap dibilang wartawan walau menunjukkan sikapnya dengan jelas.

Kalau begitu wartawan boleh tak netral?

Menjadi netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Impartialitas juga bukan yang dimaksud dengan objektifitas. Prinsipnya, wartawan harus bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput.

Jadi, semangat dan pikiran untuk bersikap independen ini lebih penting ketimbang netralitas. Namun wartawan yang beropini juga tetap harus menjaga akurasi dari data-datanya. Mereka harus tetap melakukan verifikasi, mengabdi pada kepentingan masyarakat, dan memenuhi berbagai ketentuan lain yang harus ditaati seorang wartawan.

“Wartawan yang menulis kolom memang punya sudut pandangnya sendiri …. Tapi mereka tetap harus menghargai fakta di atas segalanya,” kata Anthony Lewis, kolumnis The New York Times.

Menulis kolom ibaratnya, menurut Maggie Galagher dari Universal Press Syndicate, “bicara dengan seseorang yang tak setuju dengan saya.”

Tapi wartawan yang menulis opini tetap tak diharapkan menulis tentang sesuatu dan ikut jadi pemain. Ini membuat si wartawan lebih sulit untuk melihat dengan perspektif yang berbeda. Lebih sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari pihak lain. Lebih sulit lagi menyakinkan masyarakat bahwa si wartawan meletakkan kepentingan mereka lebih dulu ketimbang kepentingan kelompok di mana si wartawan ikut bermain.

Kesetiaan pada kebenaran inilah yang membedakan wartawan dengan juru penerangan atau propaganda. Kebebasan berpendapat ada pada setiap orang. Tiap orang boleh bicara apa saja walau isinya propaganda atau menyebarkan kebencian. Tapi jurnalisme dan komunikasi bukan hal yang sama.

Independensi ini juga yang harus dijunjung tinggi di atas identitas lain seorang wartawan. Ada wartawan yang beragama Kristen, Islam, Hindu, Buddha, berkulit putih, keturunan Asia, keturunan Afrika, Hispanik, cacat, laki-laki, perempuan, dan sebagainya. Mereka, bukan pertama-tama, orang Kristen dan kedua baru wartawan.

Latar belakang etnik, agama, ideologi, atau kelas, ini seyogyanya dijadikan bahan informasi buat liputan mereka. Tapi bukan dijadikan alasan untuk mendikte si wartawan. Kovach dan Rosenstiel juga percaya, ruang redaksi yang multikultural bakal menciptakan lingkungan yang lebih bermutu secara intelektual ketimbang yang seragam.

Bersama-sama wartawan dari berbagai latar ini menciptakan liputan yang lebih kaya. Tapi sebaliknya, keberagaman ini tak bisa diperlakukan sebagai tujuan. Dia adalah metode buat menghasilkan liputan yang baik.


ELEMEN jurnalisme yang kelima adalah memantau kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas. Memantau kekuasaan bukan berarti melukai mereka yang hidupnya nyaman. Mungkin kalau dipakai istilah Indonesianya, “jangan cari gara-gara juga.” Memantau kekuasaan dilakukan dalam kerangka ikut menegakkan demokrasi.

Salah satu cara pemantauan ini adalah melakukan investigative reporting --sebuah jenis reportase di mana si wartawan berhasil menunjukkan siapa yang salah, siapa yang melakukan pelanggaran hukum, yang seharusnya jadi terdakwa, dalam suatu kejahatan publik yang sebelumnya dirahasiakan.

Sayangnya di Amerika Serikat, saya kira juga di Indonesia, label investigasi sering dijadikan barang dagangan. Kovach dan Rosenstiel menceritakan bagaimana radio-radio di sana menyiarkan rumor dan dengan seenaknya mengatakan mereka melakukan investigasi. Susahnya, para pendengar, pemirsa, dan pembaca juga tak tahu apa investigasi itu.

Salah satu konsekuensi dari investigasi adalah kecenderungan media bersangkutan mengambil sikap terhadap isu di mana mereka melakukan investigasi. Ada yang memakai istilah advocacy reporting buat mengganti istilah investigative reporting karena adanya kecenderungan ini. Padahal hasil investigasi bisa salah. Dan dampak yang timbul besar sekali. Bukan saja orang-orang yang didakwa dibuat menderita tapi juga reputasi media bersangkutan bisa tercemar serius. Mungkin karena risiko ini, banyak media besar serba tanggung dalam melakukan investigasi. Mereka lebih suka memperdagangkan labelnya saja tapi tak benar-benar masuk ke dalam investigasi.

Bob Woodward dari The Washington Post, salah satu wartawan yang investigasinya ikut mendorong mundurnya Presiden Richard Nixon karena skandal Watergate pada 1970-an, mengatakan salah satu syarat investigasi adalah “pikiran yang terbuka.”

Elemen keenam adalah jurnalisme sebagai forum publik. Kovach dan Rosenstiel menerangkan zaman dahulu banyak suratkabar yang menjadikan ruang tamu mereka sebagai forum publik di mana orang-orang bisa datang, menyampaikan pendapatnya, kritik, dan sebagainya. Di sana juga disediakan cerutu serta minuman.

Logikanya, manusia itu punya rasa ingin tahu yang alamiah. Bila media melaporkan, katakanlah dari jadwal-jadwal acara hingga kejahatan publik hingga timbulnya suatu trend sosial, jurnalisme ini menggelitik rasa ingin tahu orang banyak. Ketika mereka bereaksi terhadap laporan-laporan itu maka masyarakat pun dipenuhi dengan komentar –mungkin lewat program telepon di radio, lewat talk show televisi, opini pribadi, surat pembaca, ruang tamu suratkabar dan sebagainya. Pada gilirannya, komentar-komentar ini didengar oleh para politisi dan birokrat yang menjalankan roda pemerintahan. Memang tugas merekalah untuk menangkap aspirasi masyarakat. Dengan demikian, fungsi jurnalisme sebagai forum publik sangatlah penting karena, seperti pada zaman Yunani kuno, lewat forum inilah demokrasi ditegakkan.

Sekarang teknologi modern membuat forum ini lebih bertenaga. Sekarang ada siaran langsung televisi maupun chat room di internet. Tapi kecepatan yang menyertai teknologi baru ini juga meningkatkan kemampuan terjadinya distorsi maupun informasi yang menyesatkan yang potensial merusak reputasi jurnalisme.

Kovach dan Rosenstiel berpendapat jurnalisme yang mengakomodasi debat publik harus dibedakan dengan “jurnalisme semu,” yang mengadakan debat secara artifisial dengan tujuan menghibur atau melakukan provokasi.

Munculnya jurnalisme semu itu terjadi karena debatnya tak dibuat berdasarkan fakta-fakta secara memadai. “Talk is cheap,” kata Kovach dan Rosenstiel. Biaya produksi sebuah talk show kecil sekali dibandingkan biaya untuk membangun infrastruktur reportase. Sebuah media yang hendak membangun infrastruktur reportase bukan saja harus menggaji puluhan, bahkan ratusan wartawan, tapi juga membiayai operasi mereka. Belum lagi bila media bersangkutan hendak membuka biro-biro baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Ngomong itu murah. Mendapatkan komentar-komentar lewat telepon dan disiarkan secara langsung sangat jauh lebih murah ketimbang melakukan reportase.

Jurnalisme semu juga muncul karena gaya lebih dipentingkan ketimbang esensi. Jurnalisme semu pada gilirannya membahayakan demokrasi karena ia bukannya memperlebar nuansa suatu perdebatan tapi lebih memfokuskan dirinya pada isu-isu yang sempit, yang terpolarisasi. Buntutnya, upaya mencari kompromi, sesuatu yang esensial dalam demokrasi, juga tak terbantu oleh jurnalisme macam ini. Jurnalisme semu tak memberikan pencerahan tapi malah mengajak orang berkelahi lebih sengit.

SELAMA dua semester mengikuti program Nieman Fellowship, Bill Kovach mengusulkan agar kami ikut suatu kelas tentang penulisan narasi (nonfiksi). Dia menekankan perlunya wartawan belajar menulis narasi karena kekuatan jurnalisme cetak sangat ditentukan oleh kemampuan ini. Saya mengikuti nasehat Kovach dan belajar tentang suatu genre yang disebut narrative report atau jurnalisme kesastraan.

Anjuran itu sesuai dengan elemen ketujuh bahwa jurnalisme harus memikat sekaligus relevan. Mungkin meminjam motto majalah Tempo jurnalisme itu harus “enak dibaca dan perlu.” Selama mengikuti kelas narasi itu, saya belajar banyak tentang komposisi, tentang etika, tentang naik-turunnya emosi pembaca dan sebagainya.

Memikat sekaligus relevan. Ironisnya, dua faktor ini justru sering dianggap dua hal yang bertolakbelakang. Laporan yang memikat dianggap laporan yang lucu, sensasional, menghibur, dan penuh tokoh selebritas. Tapi laporan yang relevan dianggap kering, angka-angka, dan membosankan.

Padahal bukti-bukti cukup banyak, bahwa masyarakat mau keduanya. Orang membaca berita olah raga tapi juga berita ekonomi. Orang baca resensi buku tapi juga mengisi teka-teki silang. Majalah The New Yorker terkenal bukan saja karena kartun-kartunnya yang lucu, tapi juga laporan-laporannya yang panjang dan serius.

Kovach dan Rosenstiel mengatakan wartawan macam itu pada dasarnya malas, bodoh, bias, dan tak tahu bagaimana harus menyajikan jurnalisme yang bermutu.

Menulis narasi yang dalam, sekaligus memikat, butuh waktu lama. Banyak contoh bagaimana laporan panjang dikerjakan selama berbulan-bulan terkadang malah bertahun-tahun. Padahal waktu adalah sebuah kemewahan dalam bisnis media.

Di sisi lain, daya tarik hiburan memang luar biasa. Pada 1977 kulit muka majalah Newsweek dan Time 31 persen diisi gambar tokoh politik atau pemimpin internasional serta 15 persen diilustrasikan oleh bintang hiburan. Pada 1997, kulit muka kedua majalah internasional ini mengalami penurunan 60 persen dalam hal tokoh politik. Sedangkan 40 persen diisi oleh bintang hiburan.

Duet Kovach-Rosenstiel sebelumnya menerbitkan buku Warp Speed: American in the Age of Mixed Media di mana mereka melakukan analisis yang tajam terhadap liputan media Amerika atas skandal Presiden Bill Clinton dan Monica Lewinsky. Kebanyakan media suka menekankan pada sisi sensasi dari skandal itu ketimbang isu yang lebih relevan.

Elemen kedelapan adalah kewajiban wartawan menjadikan beritanya proporsional dan komprehensif. Kovach dan Rosenstiel mengatakan banyak suratkabar yang menyajikan berita yang tak proporsional. Judul-judulnya sensasional. Penekanannya pada aspek yang emosional. Mungkin kalau di Jakarta contoh terbaik adalah harian Rakyat Merdeka. Suratkabar macam ini seringkali tidak proporsional dalam pemberitaannya.

Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh yang menarik. Suratkabar sensasional diibaratkan seseorang yang ingin menarik perhatian pembaca dengan pergi ke tempat umum lalu melepas pakaian, telanjang. Orang pasti suka dan melihatnya. Pertanyaannya adalah bagaimana orang telanjang itu menjaga kesetiaan pemirsanya?

Ini berbeda dengan pemain gitar. Dia datang ke tempat umum, memainkan gitar, dan ada sedikit orang yang memperhatikan. Tapi seiring dengan kualitas permainan gitarnya, makin hari makin banyak orang yang datang untuk mendengarkan. Pemain gitar ini adalah contoh suratkabar yang proporsional.

Proporsional serta komprehensif dalam jurnalisme memang tak seilmiah pembuatan peta. Berita mana yang diangkat, mana yang penting, mana yang dijadikan berita utama, penilaiannya bisa berbeda antara si wartawan dan si pembaca. Pemilihan berita juga sangat subjektif. Kovach dan Rosenstiel bilang justru karena subjektif inilah wartawan harus senantiasa ingat agar proporsional dalam menyajikan berita.

Warga bisa tahu kalau si wartawan mencoba proporsional atau tidak. Sebaliknya warga juga tahu kalau si wartawan cuma mau bertelanjang bulat.

SETIAP wartawan harus mendengarkan hati nuraninya sendiri. Dari ruang redaksi hingga ruang direksi, semua wartawan seyogyanya punya pertimbangan pribadi tentang etika dan tanggungjawab sosial. Ini elemen yang kesembilan.

“Setiap individu reporter harus menetapkan kode etiknya sendiri, standarnya sendiri dan berdasarkan model itulah dia membangun karirnya,” kata wartawan televisi Bill Kurtis dari A&E Network.

Menjalankan prinsip itu tak mudah karena diperlukan suasana kerja yang nyaman, yang bebas, di mana setiap orang dirangsang untuk bersuara. “Bos, saya kira keputusan Anda keliru!” atau “Pak, ini kok kesannya rasialis” adalah dua contoh kalimat yang seyogyanya bisa muncul di ruang redaksi.

Menciptakan suasana ini tak mudah karena berdasarkan kebutuhannya, ruang redaksi bukanlah tempat di mana demokrasi dijalankan. Ruang redaksi bahkan punya kecenderungan menciptakan kediktatoran. Seseorang di puncak organisasi media memang harus bisa mengambil keputusan –menerbitkan atau tidak menerbitkan sebuah laporan, membiarkan atau mencabut sebuah kutipan yang panas—agar media bersangkutan bisa menepati deadline.

Membolehkan tiap individu wartawan menyuarakan hati nurani pada dasarnya membuat urusan manajemen jadi lebih kompleks. Tapi tugas setiap redaktur untuk memahami persoalan ini. Mereka memang mengambil keputusan final tapi mereka harus senantiasa membuka diri agar tiap orang yang hendak memberi kritik atau komentar bisa datang langsung pada mereka.

Bob Woodward dari The Washington Post mengatakan, “Jurnalisme yang paling baik seringkali muncul ketika ia menentang manajemennya.”

Pada hari pertama Nieman Fellowship, Bill Kovach mengatakan pada 24 peserta program itu bahwa pintunya selalu terbuka. Terkadang dia sering harus mengejar deadline dan mengetik, “Raut wajah saya bisa galak sekali bila seseorang muncul di pintu saya. Tapi jangan digubris. Masuk dan bicaralah.” (Andreas Harsono)

[Artikel ini dimuat di majalah Pantau edisi 20, Desember 2001]

Andreas Harsono is journalist, currently chairing the Pantau media think tank in Jakarta and writing a book on the complex relations among the media, ethnic and religious violence as well as nationalism in Indonesia. Its working title is "From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism."

It takes him to travel to various islands in Indonesia such as Miangas Island, near Mindanao, or Baa, a small town on Roti Island. He also visited the war-torn and tsunami-hit Aceh.

He used to work for The Nation in Bangkok. He also helped set up some journalists groups which include Indonesia's Alliance of Independent Journalists, the Institute for the Studies on Free Flow of Information and the Bangkok-based Southeast Asia Press Alliance.

He is also a member of the International Consortium for Investigative Journalists and an associate editor of the First Monday internet monthly journal.

In 1999, he got the Nieman Fellowshop on Journalism from Harvard University.

Jember, a small town in eastern Java, is his hometown.

Yayasan Pantau
Jl. Raya Kebayoran Lama 18 CD
Jakarta 12220
Phone/Fax +6221 7221031
Copyright©2005

Thursday, March 23, 2006

Soal Ujian Mid, Semester Genap

Soal Ujian Mid, Semester Genap

Mata Kuliah : Penulisan Naskah Berita
Hari : Jumat
Tanggal : 31 Maret 2006
Sifat : Take Home/Open Book

1. Penulisan judul berita tidak baku. Jelaskan!
2. Apa yang menentukan seorang pembaca akan melanjutkan bacaannya atau tidak?
3. Bagaimana definisi ‘’berita bagus’’ menurut Anda?
4. Anda jelaskan, bagaimana ‘’tulisan yang baik’’ itu?
5. Seseorang ingin menjadi penulis/jusnalis, modal apa yang harus mereka miliki?
6. Media cetak, yang juga sering disebut penerbitan pers, mempunyai proses kerja jurnalistik. Jelaskan!
7. Menurut argumentasi Anda, sejauh manakah profesi wartawan memberikan kontribusi bagi pembacanya? Berikan penjelasan sesuai dengan pengamatan Anda terhadap profesi wartawan selama ini.
8. Buatlah berita berformat straight news, mengenai persoalan di sekitar Anda. Topik bebas (misalnya: naiknya harga bahan pokok di pasar, nasib penjual telepon seluler (ponsel), pengaruh munculnya banyak mall di Jogja terhadap pedagang kecil, dsb). Harus didukung dengan fakta, kebenaran dan kejujuran.

Selamat mengerjakan.

A. Ikhwanudin SSos
mobile: 0816681041

NB: Soal-soal tersebut anda kerjakan dengan dua format, hard copy dan soft copy. Hard copy dikumpulkan di TU Jurusan Komunikasi. Soft copy dikirimkan ke iwanudin@yahoo.com
dengan subyek: UJIAN MID [nomor mahasiswa] [nama lengkap]
Kecepatan dan ketepatan mengerjakan tugas mempengaruhi penilaian.
Dikumpulkan dan di-email paling lambat Sabtu (1 April 2006).
Thanks

Wednesday, March 01, 2006

Bahan Kuliah (7)

Haruskah Wartawan Ikut Pendidikan Formal Jurnalistik?

1. Haruskah seorang jurnalis mengikuti pendidikan formal berkaitan dengan jurnalistik ini khususnya media cetak.
2. Adakah perbedaan antara output dari pendidikan formal jurnalistik dengan output yang belajar mandiri (skill).
3. Seseorang tidak mempunyai latar belakang pendidikan jurnalistik maupun pengalaman di bidang ini sekalipun dalam organisasi semisal HUMAS. Bagaimana mengejar ketertinggalan dalam dunia jurnalistik.
4. Bagaimana gaya penulisan dalam beberapa jenis koran dan contoh koran/majalah yang menggunakan gaya penulisan tsb.
5. Format umum surat kabar/majalah
6. Beda news feature dan news letter. Contoh koran/majalah yang menggunakan 2 hal diatas
7. Untuk koran lokal perspektif kerakyatan, rubrik+format yang bagus seperti apa.

Jawaban
1. Tidak, karena jurnalistik merupakan ilmu terapan yang bisa didapatkan secara otodidak, kursus, baca, dan latihan secara intensif. Namun jika hendak mendalaminya secara keilmuan/akademis, tentu saja harus masuk pendidikan formal.
2. Tentu saja, normalnya wartawan yang pendidikan formalnya jurnalistik biasanya menjadi seorang generalis, bisa menulis apa saja, dan menguasai betul kaidah-kaidah jurnalistik secara menyeluruh. Yang belajar mandiri tentu saja tidak sepandai sarjana jurnalistik dari segi keilmuannya, namun bisa jadi lebih hebat darinya jika ia terus belajar dan memiliki spesialisasi.
3. Ikut pelatihan jurnalistik, banyak baca buku/artikel tentang jurnalistik, dan giat berlatih menulis. Ingat, teknik jurnalistik itu ibarat pisau, sering diasah dengan latihan akan kian tajam.
4. Sekadar contoh, Rakyat Merdeka menggunakan gaya sensasi, Republika bergaya “jurnalisme baru”, Majalah Tempo –dan mingguan pada umumnya—menggunakan gaya penulisan sastra (feature).
5. Suratkabar biasanya terbit harian dan berisi segala jenis berita (sosial, ekonomi, politik, olahraga, dan lain-lain.). Majalah biasanya mingguan, sajian utamanya dalam bentuk Topik Utama –membahasa suatu masalah aktual secara kupas-tuntas.
6. News Feature adalah feature berita, yakni tulisan feature yang lebih banyak mengandung unsur berita/informasi. Newsletter itu format penerbitan, yakni buletin dengan ukuran kertas A4/folio per halamannya. Biasanya berisi informasi khas sebuah lembaga (media internal).
7. Yang namanya koran lokal, ya berita-beritanya harus menyangkut kehidupan sekitar di mana koran itu terbit. Istilah jurnalistiknya, narrowcasting, yakni ruang lingkup pemberitaan disempitkan hanya meliputi fenomena yang ada di sekitar.

Bahan Kuliah (6)

Dasar-dasar Teknis Jurnalistik

SEBAGAI makhluk sosial, manusia memerlukan komunikasi untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Boleh dikatakan, tiada hari dalam hidup kita yang terlewat tanpa komunikasi. Dalam berkomunikasi, terjadi penyaluran informasi dari satu pihak kepada pihak lain melalui sarana tertentu. Sarana ini tentu saja beragam bentuknya; mulai dari yang paling sederhana seperti bahasa tubuh, sampai yang paling canggih seperti internet. Salah satu sarana komunikasi yang sudah akrab dengan kehidupan kita adalah media massa, baik media cetak maupun elektronik. Yang jadi pertanyaan, apa perbedaan media massa dengan sarana komunikasi lainnya?

Secara umum, media massa menyampaikan informasi yang ditujukan kepada masyarakat luas (coba bandingkan dengan telepon yang hanya ditujukan kepada orang tertentu). Karena ditujukan kepada masyarakat luas, maka informasi yang disampaikan haruslah informasi yang menyangkut kepentingan masyarakat luas, atau yang menarik perhatian mereka.
Agar informasi dapat sampai ke sasaran (khalayak masyarakat) sesuai yang diharapkan, maka media massa harus mengolah informasi ini melalui proses kerja jurnalistik. Dan informasi yang diolah oleh media massa melalui proses kerja jurnalistik ini merupakan apa yang selama ini kita kenal sebagai berita. Secara umum, kita dapat menyebutkan bahwa media massa merupakan sarana untuk mengolah peristiwa menjadi berita melalui proses kerja jurnalistik.

Dengan demikian, jelaslah bahwa peristiwa memiliki perbedaan yang sangat konseptual dengan berita. Peristiwa merupakan kejadian faktual yang sangat objektif, sementara berita merupakan peristiwa yang telah diolah melalui bahasa-bahasa tertentu, dan disampaikan oleh pihak tertentu kepada pihak-pihak lain yang memerlukan atau siap untuk menerimanya.

Adanya proses penyampaian oleh pihak-pihak tertentu dan melalui bahasa-bahasa tertentu ini, menyebabkan suatu berita tidak pernah seratus persen objektif. Ia akan sangat dipengaruhi oleh subjektivitas si penyampai berita, mulai dari subjektivitas yang paling sederhana seperti perbedaan persepsi, sampai subjektivitas yang amat konseptual seperti warna ideologi. Contoh sederhana: pers Barat menyebut pejuang Palestina sebagia pemberotak, harian Republika menyebut posisi Amerika Serikat di Irak sebagai penjajah, dan sebagainya. Dengan kata lain, suatu peristiwa akan mengalami "deviasi" ketika diubah menjadi berita.

Berita, dengan demikian, merupakan sesuatu yang cukup rumit jika ditinjau dari segi teori. Demikian rumitnya, sehingga belum ada seorang ahli pun yang hingga saat ini berhasil menyusun definisi yang memuaskan mengenai berita. "Pekerjaan" paling memuaskan yang pernah mereka lakukan adalah merumuskan apa yang disebut sebagai nilai berita, yaitu kriteria-kriteria tertentu yang menentukan apakah suatu peristiwa layak disebut sebagai berita atau tidak.

Kriteria-kriteria tersebut adalah sebagai berikut:

1. Magnitude, yaitu seberapa luas pengaruh suatu peristiwa bagi khalayak. Contoh: Berita tentang kenaikan harga BBM lebih luas pengaruhnya terhadap SELURUH masyarakat Indonesia ketimbang berita tentang gempa bumi di Jawa Tengah.

2. Significance, yaitu seberapa penting arti suatu peristiwa bagi khalayak. Contoh: Berita tentang wabah SARS lebih penting bagi khalayak ramai ketimbang berita tentang kenaikan harga BBM.

3. Actuality, yaitu tingkat aktualitas suatu peristiwa. Berita tentang kampanye calon presiden sangat menarik jika dibaca pada tanggal 1 hingga 30 Juni 2004. Setelah itu, berita seperti ini akan menjadi sangat basi.

4. Proximity, yaitu kedekatan peristiwa terhadap khalayak. Contoh: Bagi warga Jawa Barat, berita tentang gempa bumi di Bandung lebih menarik ketimbang berita tentang gempa bumi di Surabaya.

5. Prominence, yaitu akrabnya peristiwa dengan khalayak. Contoh: Berita-berita tentang AFI (Akademi Fantasi Indosiar) lebih akrab bagi kalangan remaja Indonesia ketimbang berita-berita tentang Piala Thomas.

6. Human Interest, yaitu kemampuan suatu peristiwa untuk menyentuh perasaan kemanusiaan khalayak. Contoh: Berita tentang Nirmala, TKI Indonesia yang dianiaya di Malaysia, diminati oleh khalayak ramai, karena berita ini mengandung nilai human interest yang sangat tinggi.

Perlu diingat bahwa suatu berita tidak harus memenuhi semua kriteria di atas. Namun semakin banyak unsur tersebut yang melekat dalam suatu peristiwa, maka nilai beritanya semakin tinggi.

Proses Kerja Jurnalistik
Media massa mengolah informasi melalui proses kerja jurnalistik. Dan ini berlaku untuk semua organisasi yang bergerak di bidang penerbitan pers, tanpa terkecuali.

Tahapan-tahapan proses kerja jurnalistik yang berlaku dalam media cetak adalah sebagai berikut:

1. Rapat Redaksi, yaitu rapat untuk menentukan tema-tema yang akan ditulis dalam penerbitan edisi mendatang. Dalam rapat ini dibahas juga mengenai pembagian tugas reportase.

2. Reportase. Setelah rapat redaksi selesai, para wartawan yang telah ditunjuk harus "turun ke lapangan" untuk mencari data sebanyak mungkin yang berhubungan dengan tema tulisan yang telah ditetapkan. Pihak yang menjadi objek reportase disebut nara sumber. Nara sumber ini bisa berupa manusia, makhluk hidup selain manusia, alam, ataupun benda-benda mati. Jika nara sumbernya manusia, maka reportase tersebut bernama wawancara.

3. Penulisan Berita. Setelah melakukan reportase, wartawan media cetak akan melakukan proses jurnalistik berikutnya, yaitu menulis berita. Di sini, wartawan dituntut untuk mematuhi asas 5 W + 1 H yang bertujuan untuk memenuhi kelengkapan berita. Asas ini terdiri dari WHAT (apa yang terjadi), WHO (siapa yang terlibat dalam kejadian tersebut), WHY (mengapa terjadi), WHEN (kapan terjadinya), WHERE (di mana terjadinya), dan HOW (bagaimana cara terjadinya.

4. Editing, yaitu proses penyuntingan naskah yang bertujuan untuk menyempurnakan penulisan naskah. Penyempurnaan ini dapat menyangkut ejaan, gaya bahasa, kelengkapan data, efektivitas kalimat, dan sebagainya.

5. Setting dan Layout. Setting merupakan proses pengetikan naskah yang menyangkut pemilihan jenis dan ukuran huruf. Sedangkan layout merupakan penanganan tata letak dan penampilan fisik penerbitan secara umum. Setting dan layout merupakan tahap akhir dari proses kerja jurnalistik. Setelah proses ini selesai, naskah dibawa ke percetakan untuk dicetak sesuai oplah yang ditetapkan.

Teknik Penulisan Berita
Setelah melakukan wawancara, wartawan media cetak akan melakukan proses jurnalistik berikutnya, yaitu menulis berita. Ada dua jenis penulisan berita yang dikenal secara umum, yaitu penulisan straight news dan feature news.

STRAIGHT NEWS merupakan teknik penulisan berita yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Menggunakan gaya bahasa to the point alias lugas.

2. Inti berita, yaitu masalah terpenting dalam berita tersebut, tertulis pada alinea pertama. Makin ke bawah, isi berita makin tidak penting. Dengan demikian, dengan membaca alinea pertama saja, atau cuma membaca judulnya, orang akan langsung tahu apa isi berita tersebut.

3. Jenis tulisan ini cenderung mentaati asas 5 W + 1 H.

4. Gaya penulisan ini biasanya digunakan oleh surat kabar yang terbit harian. Terbatasnya waktu orang-orang membaca koran, membuat para pengelola surat kabar harus menyusun gaya bahasa yang selugas mungkin, sehingga pembaca akan langsung tahu apa isi suatu berita hanya dengan membaca sekilas.

Sedangkan jenis tulisan FEATURE NEWS memilik ciri-ciri sebagai berikut:

1. Gaya penulisannya merupakan gabungan antara bahasa artikel dengan bahasa sastra, sehingga cenderung enak dibaca.

2. Inti berita tersebar di seluruh bagian tulisan. Karena itu, untuk mengetahui isi tulisan, kita harus membaca dari kalimat pertama sampai kalimat terakhir.

3. Asas 5 W + 1 H masih digunakan, tetapi tidak terlalu penting.

4. Gaya penulisan ini biasanya dipakai oleh majalah/tabloid yang terbit secara berkala. Pembaca biasanya memiliki waktu yang lebih luang untuk membaca majalah/tabloid, sehingga gaya bahasa untuk media ini dapat dibuat lebih "nyastra" dan "bergaya", sehingga pembaca merasa betah dan "menikmati" tulisan tersebut dari awal sampai akhir.

Prinsip Dasar Tugas Jurnalistik
Untuk menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas, seorang wartawan hendaknya mematuhi prinsip-prinsip dasar yang berlaku dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistik. Beberapa di antaranya adalah:

1. Wartawan harus menulis berdasarkan prinsip both sides writing. Artinya, dalam membahas suatu masalah, mereka harus menampilkan pendapat dari pihak yang pro dan yang kontra. Ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan opini.

2. Dalam melakukan wawancara, wartawan harus menghargai sepenuhnya hak-hak nara sumber. Wartawan tidak boleh memuat hasil wawancara yang oleh nara sumber dinyatakan of the record. Bagi nara sumber yang merupakan saksi mata sebuah kejahatan atau menjadi korban perkosaan misalnya, wartawan wajib merahasiakan identitas mereka. Ini bertujuan untuk menjaga keselamatan atau nama baik nara sumber.

3. Wartawan tidak selayaknya memasukkan opini pribadinya dalam sebuah karya jurnalistik. Yang seharusnya ditampilkan dalam tulisan adalah opini para nara sumber.

4. Setiap pernyataan yang terangkum dalam karya jurnalistik hendaknya disertai oleh data yang mendukung. Jika tidak, pers dapat dianggap sebagai penyebar isu atau fitnah belaka. Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap pers menjadi berkurang. Bahkan pihak yang "terkena" oleh pernyataan yang tanpa data tadi, dapat menggiring pengelola pers ke pengadilan.

Judul
1. Judul berita sebisa mungkin dibuat dengan kalimat pendek, tapi bisa menggambarkan isi berita secara keseluruhan. Pemberian judul ini menjadi penentu apakah pembaca akan tertarik membaca berita yang ditulis atau tidak.

2. Menggunakan kalimat aktif agar daya dorongnya lebih kuat. Seorang penulis novel terkenal, Stephen King, pernah mencemooh penulis yang menggunakan kalimat aktif. "Kalimat pasif itu aman," kata King. Mungkin benar, tapi memberi judul berita bukan soal aman atau tidak aman. Judul aktif akan lebih menggugah. Bandingkan misalnya judul "Suami Istri Ditabrak Truk di Jalan Tol" dengan "Truk Tronton Tabrak Suami Istri di Jalan Tol". Judul kedua, rasanya, lebih hidup dan kuat. Namun pemberian judul aktif tidak baku. Ada judul berita yang lebih kuat dengan kalimat pasif. Biasanya si subyek berita termasuk orang terkenal. Misalnya judul "Syahril Sabirin Divonis 3 Tahun Penjara."

3. Persoalan judul menjadi menarik seiring munculnya media berita internet. Memberi judul untuk koran yang waktunya sehari tidak akan memancing pembaca jika mengikuti peristiwa yang terjadi, karena peristiwa itu sudah basi dan ditulis habis di media dotcom. Memberi judul untuk koran sebaiknya memikirkan dampak ke depan. Misalnya, judul "Syahril Sabirin Divonis 3 Tahun Penjara."

Bagi koran yang terbit esok pagi, misalnya, judul ini basi karena media dotcom dan radio (juga) televisi, sudah memberitakannya begitu vonis dijatuhkan. Untuk mengetahui dampak ke depan setelah vonis dijatuhkan, wartawan yang meliput harus kerja lebih keras. Misalnya dengan bertanya ke sumber-sumber dan Syahril sendiri soal dampak dari vonis itu.

Pembaca, tentu saja ingin tahu perkembangan berikutnya pada pagi hari setelah mendengar berita tersebut dari radio, televisi dan membaca internet malam sebelumnya. Namun, soal judul untuk koran dan media dotcom dengan cara seperti ini masih menjadi perdebatan. Karena judul "Syahril Sabirin Divonis..." masih kuat ketika ditulis esok harinya. Ini hanya soal kelengkapan saja. Jika dotcom dan media elektronik hanya membuat breaking news-nya saja, koran—karena mempunyai waktu tenggat lebih lama—bisa melengkapi dampak-dampak tersebut di tulisannya, meski memakai judul yang sama.

Lead
1. Selain judul, lead bisa menjadi penentu seorang pembaca akan melanjutkan bacaannya atau tidak. Sehingga beberapa buku panduan menulis berita menyebut lebih dari 10 lead yang bisa dipakai dalam sebuah berita. Namun, hal yang tak boleh dilupakan dalam menulis lead adalah unsur 5W + 1H (Apa/What, Di mana/Where, Kapan/When, Mengapa/Why, Siapa/Who dan Bagaimana/How) . Pembaca yang sibuk, tentu tidak akan lama-lama membaca berita. Pembaca akan segera tahu apa berita yang ditulis wartawan hanya dengan membaca lead. Tentu saja, jika pembaca masih tertarik dengan berita itu, ia akan melanjutkan bacaannya sampai akhir. Dan tugas wartawan terus memancing pembaca agar membaca berita sampai tuntas.

2. Lead terkait dengan peg atau biasa disebut pelatuk berita. Seorang reporter ketika ditugaskan meliput peristiwa harus sudah tahu "pelatuk" apa yang akan dibuat sebelum menulis berita. Pelatuk berbeda dengan sudut berita. Ada satu contoh. Misalkan seorang reporter ditugaskan meliput banjir yang merendam ratusan rumah dan warga mengungsi. Yang disebut sudut berita adalah peristiwa banjir itu sendiri, sedangkan peg adalah warga yang mengungsi. Mana yang menarik dijadikan lead? Anda bisa memilih sendiri. Membuat lead soal mengungsi mungkin lebih menarik dibanding banjir itu sendiri. Karena ini menyangkut manusia yang secara langsung akan berhubungan dengan pembaca. Berita lebih menyentuh jika mengambil lead ini. Manusia, secara lahiriah, senang menggunjingkan manusia lain.

Badan Berita
1. Penentuan lead ini juga membantu reporter menginventarisasi bahan-bahan berita. Sehingga penulisan berita menjadi terarah dan tidak keluar dari lead. Inilah yang disebut badan berita. Ada hukum lain selain soal unsur pada poin 1 tadi, yakni piramida terbalik. Semakin ke bawah, detail-detail berita semakin tidak penting. Sehingga ini akan membantu editor memotong berita jika space tidak cukup tanpa kehilangan pentingnya berita itu sendiri.

2. Untuk lebih mudahnya, susun berita yang berawal dari lead itu secara kronologis. Sehingga pembaca bisa mengikuti seolah-olah berita itu suatu cerita. Teknik ini juga akan membantu reporter memberikan premis penghubung antar paragraf. Hal ini penting, karena berita yang melompat-lompat, selain mengurangi kejelasan, juga mengurangi kenyamanan membaca.

3. Cek dan ricek bahan yang sudah didapat. Dalam berita, akurasi menjadi hal yang sangat penting. Jangan sungkan untuk menanyakan langsung ke nara sumber soal namanya, umur, pendidikan dan lain-lain. Bila perlu kita tulis di secarik kertas lalu sodorkan ke hadapannya apakah benar seperti yang ditulis atau tidak. Akurasi juga menyangkut fakta-fakta. Kuncinya selalu cek-ricek-triple cek.

Bahasa
1. Bahasa menjadi elemen yang penting dalam berita. Bayangkan bahwa pembaca itu berasal dari beragam strata. Bahasa yang digunakan untuk berita hendaknya bahasa percakapan. Hilangkan kata bersayap, berkabut bahkan klise. Jika narasumber memberikan keterangan dengan kalimat-kalimat klise, seorang reporter yang baik akan menerjemahkan perkataan narasumber itu dengan kalimat-kalimat sederhana. Tentu saja kita tidak mengerti jargon-jargon yang seperti, "Disiplin Mencerminkan Kepribadian Bangsa" yang ditulis besar-besar pada spanduk. Siapa yang peduli bangsa? Berita yang bagus adalah berita yang dekat dengan pembaca.

2. Menulis lead yang bicara. Untuk mengujinya, bacalah lead atau berita tersebut keras-keras. Jika sebelum titik, nafas sudah habis, berarti berita yang dibuat tidak bicara, melelahkan dan tidak enak dibaca. Ada buku panduan yang menyebut satu paragraf dalam sebuah berita paling panjang dua-tiga kalimat yang memuat 20-30 kata. Untuk menyiasatinya cobalah menulis sambil diucapkan.

3. Berita yang bagus adalah berita yang seolah-olah bisa didengar. Prinsipnya sederhana, makin sederhana makin baik. Seringkali reporter terpancing menuliskan berita dengan peristiwa sebelumnya jika berita itu terus berlanjut, sehingga kalimat jadi panjang. Untuk menghindarinya, jangan memulai tulisan dengan anak kalimat atau keterangan. Agar jelas, segera tampilkan nilai beritanya.

4. Menghidari kata sifat. Menulis berita dengan kata sifat cenderung menggurui pembaca. Pakailah kata kerja. Menulis berita adalah menyusun fakta-fakta. Kata "memilukan", misalnya, tidak lagi menggugah pembaca dibanding menampilkan fakta-fakta dengan kata kerja dan contoh-contoh. Tangis perempuan itu memilukan hati, misalnya. Pembaca tidak tahu seperti apa tangis yang memilukan hati itu. Menuliskan fakta-fakta yang dilakukan si perempuan saat menangis lebih bisa menggambarkan bagaimana perempuan itu menangis. Misalnya, rambutnya acak-acakan, suaranya melengking, mukanya memerah dan lain-lain. "Don't Tell, But Show!"

5. Menuliskan angka-angka. Pembaca kadang tidak memerlukan detail angka-angka. Kasus korupsi seringkali melibatkan angka desimal. Jumlah Rp 904.775.500, lebih baik ditulis "lebih dari Rp 904 juta atau lebih dari Rp 900 juta".

Ekstrak
1. Jangan pernah menganggap pembaca sudah tahu berita yang ditulis. Dalam menulis berita seorang reporter harus menganggap pembaca belum tahu peristiwa itu, meski peristiwanya terus berlanjut dan sudah berlangsung lama. Tapi juga jangan menganggap enteng pembaca, sehingga timbul kesan menggurui. Menuliskan ekstrak peristiwa sebelumnya dalam berita dengan perkembangan terbaru menjadi penting.

Panduan ini tidak mutlak untuk menulis berita. Masih banyak hal yang belum dijelaskan dalam makalah ini. Hal paling baik bisa menulis berita yang enak dibaca adalah mencobanya. Jadi, selamat mencoba.

(iwanudin@yahoo.com)

Curiculum Vitae

Nama : A Ikhwanudin SSos
TTL : Sleman, 29 Juni 1970

Pendidikan :
SDN Petinggen I Jogja (lulus 1983)
SMPN 5 Jogja (lulus 1986)
SMAN 3 Jogja (lulus 1989)
Jur. Komunikasi Fisipol UGM (sampai ujian skripsi tahun 1995)
Jur. Sosiologi Stisipol Kartika Bangsa Jogja (lulus 2004)

Pengalaman Organisasi:
Ketua Korps Mahasiswa Komunikasi UGM 1991-1992
Pimred Tabloid Swara Jurusan Komunikasi UGM 1991-1992
Anggota Publisia Photo Club
dll

Pengalaman Kerja:
Bergabung di Jawa Pos (1996-sekarang)

Contact person:
Mobile : 0816681041
Email : iwanudin@yahoo.com
ikhwanudin@gmail.com
iwa@jawapos.co.id

Bahan Kuliah (5)

Bagaimana Memulai Menulis?

Secara garis besar, modal dasar menjadi penulis adalah:

1. Memiliki tekad dan keuletan berlatih.
2. Memiliki motivasi, niat yang sangat kuat, sehingga tidak malas berlatih dan tidak mudah putus asa.
3. Rajin membaca buku dan informasi lain untuk menambah wawasan, mengembangkan ide, dan mengasah daya analisis.
4. Rajin berlatih. Dalam hal ini, seorang pemula bisa melakukan “free writing” (menulis bebas), temanya apa saja, termasuk uneg-uneg Anda tentang berbagai masalah yang ada. Dari “free writing” dengan gaya bebas itu, Anda bisa mengembangkannya menjadi artikel.
5. Berlatih menyusun outline, yakni garis besar alur tulisan yang akan disusun, mulai dari intro, identifikasi masalah, isi atau bahasan, hingga penutup.
6. Jangan malas melakukan rewriting, menulis ulang draft tulisan pertama. Lakukan revisi di sana-sini. Kemudian editing, utamanya soal tata bahasa dan penggunaan kata-kata.
7. Jangan malas menulis Surat Pembaca, karena hal itu menjadi sarana efektif berlatih sekaligus memunculkan rada percaya diri. Coba buka situs berita di internet, baca beritanya, dan tulis komentar sebagaimana sudah disediakan lahannya oleh pengelola situs itu. Jangan ragu, PD aja lagi!

Bahan Kuliah (4)

Bagaimana kriteria menilai tulisan baik atau buruk?
1. Kriteria apa sajakah yang dapat menyatakan suatu tulisan itu baik atau buruk?
2. Hal-hal apa sajakah yang diperlukan seseorang untuk menulis?

1. Tulisan yang baik adalah yang mudah dimengerti, informasi dan pesannya jelas, menggunakan bahasa jurnalistik, menaati kaidah bahasa, bahasannya sistematis, judulnya menarik, dan mengandung kebenaran. Kriteria lainnya, tulisan yang baik adalah yang memenuhi nilai berita (news value), yakni aktual, faktual, penting, dan menarik. Tulisan yang buruk tentu yang memiliki kriteria sebaliknya dari tulisan yang baik tersebut.

2. Hal-hal yang diperlukan seseorang untuk menulis adalah niat, motivasi, ide, referensi bagi pengembangan ide dan penulisannya, mampu berbahasa tulisan dan menguasa bahasa jurnalistik, suka membaca untuk menambah wawasan, pengetahuan, dan mengasah daya analisis serta menambah referensi. Selain itu, penulis mampu menyesuaikan gaya penulisan dan gaya bahasanya dengan visi, misi, dan karakteristik pembacanya.

Tuesday, February 28, 2006

Bahan Kuliah (3)

Jurnalistik Immersion
Perbedaan sinopsis, resensi, dan essay

1. Jurnalistik immersion disebut juga teknik immerse reporting, yaitu gaya peliputan dan pemberitaan di mana reporter seakan-akan menyusup dalam cerita yang sedang dikerjakannya. Immersion artinya larut atau lebur. Maka, jurnalistik immersion merujuk pada sikap wartawan yang larut dalam peristiwa yang diliputnya, sehingga memunculkan keberpihakan pada berita yang ditulisnya. Jurnalistik demikian disebut Journalism of Attachment atau Jurnalisme Keterikatan di mana wartawan merasa simpati pada pihak tertentu yang menjadi korban ketidakadilan atau kezaliman. Misalnya, wartawan peliput perang di Palestina simpati pada penderitaan Muslim Palestina, sehingga beritanya “memihak” Muslim Palestina.

2. Feature (karangan khas), yaitu jenis tulisan yang menuturkan fakta, peristiwa, atau proses disertai penjelasan riwayat terjadinya, duduk perkaranya, proses pembentukannya, disertai interpretasi penulisnya, dengan menggunakan gaya atau teknik penulisan karya sastra seperti cerpen atau novel. Sifat tulisannya lebih “menghibur” dan “menjelaskan masalah” daripada sekadar “menginformasikan”.

3. Sinopsis itu ringkasan atau ikhtisar, misalnya ringkasan cerita film, novel, atau isi pidato, tanpa komentar atau penilaian. Resensi artinya tinjauan, perbincangan, disertai penilaian terhadap sebuah buku, film, atau karya seni. Essay (esai) artinya tinjauan terhadap sebuah karya sastra yang melulu berisi opini penulisnya. Ingat, essay itu istilah dunia sastra, bukan jurnalistik. Tulisan semacam essay dalam jurnalistik sama dengan kolom. Get it?

Bahan Kuliah (2)

Makna kebebasan pers dan kaitannya dengan budaya amplop?

Secara normatif, kebebasan pers (disebut pula Kemerdekaan Pers) adalah kebebasan mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi melalui media massa. UU No. 40/1999 tentang Pers menyebutkan, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, bahkan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran (Pasal 4 ayat 1 dan 2).
Penyensoran yaitu penghapusan secara paksa materi informasi, teguran atau peringatan yang bersifat mengancam, atau izin bagi kegiatan jurnalistik. Pembredelan yaitu penghentian penerbitan, peredaran, atau penyiaran. Pihak yang mencoba menghalangi kemerdekaan pers dapat dipidana penjara maksimal dua tahun atau dena maksimal Rp 500 juta (Pasal 18 ayat 1).
Meskipun demikian, kebebasan pers bukan kebebasan mutlak. Ia dibatasi dengan kewajiban menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah (Pasal 5 ayat 1). Wartawan atau kalangan pers juga diwajibkan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
Hubungannya dengan budaya amplop, jika wartawan tidak menghentikan praktik amplopisme, maka kebebasan pers yang sudah ada saat ini tidak ada artinya. Amplop justru mengekang wartawan dalam bertugas, bisa menghilangkan independensinya. Dengan kata lain, menerima amplop berarti menggadaikan kebebasan itu. Wartawan “dikendalikan” oleh si pemberi amplop. Maka, mari kita perangi praktik amplopisme, sekarang juga!

Bahan Kuliah (1)

Menulis Naskah Berita

Menulis adalah pekerjaan seni. Pelukis terkenal Sudjojono pernah ditanya seseorang, "Bagaimana Anda melukis?" Sudjojono malah balik bertanya, "Apakah saudara punya buku panduan naik sepeda?" Begitulah. Menulis berita pun tak jauh beda dengan pekerjaan melukis.

Namun, karena berita menyajikan fakta-fakta, ada kaidah-kaidah tertentu yang tak boleh ditinggalkan seorang wartawan. Ada begitu banyak buku panduan dan teknik menulis berita yang sudah diterbitkan yang ditulis wartawan senior, meski pokok-pokoknya mengacu pada satu hal. Jika pun makalah ini ditulis, hanya sedikit pokok-pokok yang bisa dijelaskan, karena menulis berita tidak mungkin diuraikan secara sistematis.

Berbeda dengan majalah yang sifat beritanya lebih analisis, berita keras tidak boleh beropini. Sehingga tulisan hanya menyajikan fakta-fakta. Dan waktu juga menjadi perhatian lainnya. Berita majalah berbentuk feature berita sehingga sifanya tidak tergantung waktu. Sedangkan koran yang terbit harian sifat beritanya pun terbatas oleh waktu. Esok harinya, sudah ada berita baru sebagai perkembangan berita sebelumnya. Apalagi media dotcom yang melaporkan perkembangan dari jam ke jam bahkan dari menit ke menit. Di sini hanya akan dibatasi menulis berita keras.

Judul
1. Judul berita sebisa mungkin dibuat dengan kalimat pendek, tapi bisa menggambarkan isi berita secara keseluruhan. Pemberian judul ini menjadi penentu apakah pembaca akan tertarik membaca berita yang ditulis atau tidak.

2. Menggunakan kalimat aktif agar daya dorongnya lebih kuat. Seorang penulis novel terkenal, Stephen King, pernah mencemooh penulis yang menggunakan kalimat aktif. "Kalimat pasif itu aman," kata King. Mungkin benar, tapi memberi judul berita bukan soal aman atau tidak aman. Judul aktif akan lebih menggugah. Bandingkan misalnya judul "Suami Istri Ditabrak Truk di Jalan Tol" dengan "Truk Tronton Tabrak Suami Istri di Jalan Tol". Judul kedua, rasanya, lebih hidup dan kuat. Namun pemberian judul aktif tidak baku. Ada judul berita yang lebih kuat dengan kalimat pasif. Biasanya si subyek berita termasuk orang terkenal. Misalnya judul "Syahril Sabirin Divonis 3 Tahun Penjara."

3. Persoalan judul menjadi menarik seiring munculnya media berita internet. Memberi judul untuk koran yang waktunya sehari tidak akan memancing pembaca jika mengikuti peristiwa yang terjadi, karena peristiwa itu sudah basi dan ditulis habis di media dotcom. Memberi judul untuk koran sebaiknya memikirkan dampak ke depan. Misalnya, judul "Syahril Sabirin Divonis 3 Tahun Penjara."

Bagi koran yang terbit esok pagi, misalnya, judul ini basi karena media dotcom dan radio (juga) televisi, sudah memberitakannya begitu vonis dijatuhkan. Untuk mengetahui dampak ke depan setelah vonis dijatuhkan, wartawan yang meliput harus kerja lebih keras. Misalnya dengan bertanya ke sumber-sumber dan Syahril sendiri soal dampak dari vonis itu.

Pembaca, tentu saja ingin tahu perkembangan berikutnya pada pagi hari setelah mendengar berita tersebut dari radio, televisi dan membaca internet malam sebelumnya. Namun, soal judul untuk koran dan media dotcom dengan cara seperti ini masih menjadi perdebatan. Karena judul "Syahril Sabirin Divonis..." masih kuat ketika ditulis esok harinya. Ini hanya soal kelengkapan saja. Jika dotcom dan media elektronik hanya membuat breaking news-nya saja, koran—karena mempunyai waktu tenggat lebih lama—bisa melengkapi dampak-dampak tersebut di tulisannya, meski memakai judul yang sama.

Lead
1. Selain judul, lead bisa menjadi penentu seorang pembaca akan melanjutkan bacaannya atau tidak. Sehingga beberapa buku panduan menulis berita menyebut lebih dari 10 lead yang bisa dipakai dalam sebuah berita. Namun, hal yang tak boleh dilupakan dalam menulis lead adalah unsur 5W + 1H (Apa/What, Di mana/Where, Kapan/When, Mengapa/Why, Siapa/Who dan Bagaimana/How) . Pembaca yang sibuk, tentu tidak akan lama-lama membaca berita. Pembaca akan segera tahu apa berita yang ditulis wartawan hanya dengan membaca lead. Tentu saja, jika pembaca masih tertarik dengan berita itu, ia akan melanjutkan bacaannya sampai akhir. Dan tugas wartawan terus memancing pembaca agar membaca berita sampai tuntas.

2. Lead terkait dengan peg atau biasa disebut pelatuk berita. Seorang reporter ketika ditugaskan meliput peristiwa harus sudah tahu "pelatuk" apa yang akan dibuat sebelum menulis berita. Pelatuk berbeda dengan sudut berita. Ada satu contoh. Misalkan seorang reporter ditugaskan meliput banjir yang merendam ratusan rumah dan warga mengungsi. Yang disebut sudut berita adalah peristiwa banjir itu sendiri, sedangkan peg adalah warga yang mengungsi. Mana yang menarik dijadikan lead? Anda bisa memilih sendiri. Membuat lead soal mengungsi mungkin lebih menarik dibanding banjir itu sendiri. Karena ini menyangkut manusia yang secara langsung akan berhubungan dengan pembaca. Berita lebih menyentuh jika mengambil lead ini. Manusia, secara lahiriah, senang menggunjingkan manusia lain.

Badan Berita
1. Penentuan lead ini juga membantu reporter menginventarisasi bahan-bahan berita. Sehingga penulisan berita menjadi terarah dan tidak keluar dari lead. Inilah yang disebut badan berita. Ada hukum lain selain soal unsur pada poin 1 tadi, yakni piramida terbalik. Semakin ke bawah, detail-detail berita semakin tidak penting. Sehingga ini akan membantu editor memotong berita jika space tidak cukup tanpa kehilangan pentingnya berita itu sendiri.

2. Untuk lebih mudahnya, susun berita yang berawal dari lead itu secara kronologis. Sehingga pembaca bisa mengikuti seolah-olah berita itu suatu cerita. Teknik ini juga akan membantu reporter memberikan premis penghubung antar paragraf. Hal ini penting, karena berita yang melompat-lompat, selain mengurangi kejelasan, juga mengurangi kenyamanan membaca.

3. Cek dan ricek bahan yang sudah didapat. Dalam berita, akurasi menjadi hal yang sangat penting. Jangan sungkan untuk menanyakan langsung ke nara sumber soal namanya, umur, pendidikan dan lain-lain. Bila perlu kita tulis di secarik kertas lalu sodorkan ke hadapannya apakah benar seperti yang ditulis atau tidak. Akurasi juga menyangkut fakta-fakta. Kuncinya selalu cek-ricek-triple cek.

Bahasa
1. Bahasa menjadi elemen yang penting dalam berita. Bayangkan bahwa pembaca itu berasal dari beragam strata. Bahasa yang digunakan untuk berita hendaknya bahasa percakapan. Hilangkan kata bersayap, berkabut bahkan klise. Jika narasumber memberikan keterangan dengan kalimat-kalimat klise, seorang reporter yang baik akan menerjemahkan perkataan narasumber itu dengan kalimat-kalimat sederhana. Tentu saja kita tidak mengerti jargon-jargon yang seperti, "Disiplin Mencerminkan Kepribadian Bangsa" yang ditulis besar-besar pada spanduk. Siapa yang peduli bangsa? Berita yang bagus adalah berita yang dekat dengan pembaca.

2. Menulis lead yang bicara. Untuk mengujinya, bacalah lead atau berita tersebut keras-keras. Jika sebelum titik, nafas sudah habis, berarti berita yang dibuat tidak bicara, melelahkan dan tidak enak dibaca. Ada buku panduan yang menyebut satu paragraf dalam sebuah berita paling panjang dua-tiga kalimat yang memuat 20-30 kata. Untuk menyiasatinya cobalah menulis sambil diucapkan.

3. Berita yang bagus adalah berita yang seolah-olah bisa didengar. Prinsipnya sederhana, makin sederhana makin baik. Seringkali reporter terpancing menuliskan berita dengan peristiwa sebelumnya jika berita itu terus berlanjut, sehingga kalimat jadi panjang. Untuk menghindarinya, jangan memulai tulisan dengan anak kalimat atau keterangan. Agar jelas, segera tampilkan nilai beritanya.

4. Menghindari kata sifat. Menulis berita dengan kata sifat cenderung menggurui pembaca. Pakailah kata kerja. Menulis berita adalah menyusun fakta-fakta. Kata "memilukan", misalnya, tidak lagi menggugah pembaca dibanding menampilkan fakta-fakta dengan kata kerja dan contoh-contoh. Tangis perempuan itu memilukan hati, misalnya. Pembaca tidak tahu seperti apa tangis yang memilukan hati itu. Menuliskan fakta-fakta yang dilakukan si perempuan saat menangis lebih bisa menggambarkan bagaimana perempuan itu menangis. Misalnya, rambutnya acak-acakan, suaranya melengking, mukanya memerah dan lain-lain. "Don't Tell, But Show!"

5. Menuliskan angka-angka. Pembaca kadang tidak memerlukan detail angka-angka. Kasus korupsi seringkali melibatkan angka desimal. Jumlah Rp 904.775.500, lebih baik ditulis "lebih dari Rp 904 juta atau lebih dari Rp 900 juta".

Ekstrak
1. Jangan pernah menganggap pembaca sudah tahu berita yang ditulis. Dalam menulis berita seorang reporter harus menganggap pembaca belum tahu peristiwa itu, meski peristiwanya terus berlanjut dan sudah berlangsung lama. Tapi juga jangan menganggap enteng pembaca, sehingga timbul kesan menggurui. Menuliskan ekstrak peristiwa sebelumnya dalam berita dengan perkembangan terbaru menjadi penting.

Panduan ini tidak mutlak untuk menulis berita. Masih banyak hal yang belum dijelaskan dalam makalah ini. Hal paling baik bisa menulis berita yang enak dibaca adalah mencobanya. Jadi, selamat mencoba.


Referensi:

1. Simbolon, Parakitri T., 1997. Vademekum Wartawan. Jakarta. Kepustakaan Populer Gramedia
2. Hadad, Toriq dan Bambang Bujono (Ed)., 1997. Seandainya Saya Wartawan Tempo. Jakarta. Institut Studi Arus Informasi dan Yayasan Alumni Tempo

Friday, January 06, 2006

ONE MOMENT of TRUTH

jumat 20050106

Sudah lama gak nulis u JP, sekali nulis, kagak diedit sama sekali sama Ahmad Zaini. Redaktur sekaligus kawan di Surabaya. Oalah. Simak tulisan di http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=205471 babar blas gak diedit, bahkan judul dan sub judulnya buatan iwa, tak diubah. Wis jan. lha piye maneh :)