Tuesday, February 28, 2006

Bahan Kuliah (2)

Makna kebebasan pers dan kaitannya dengan budaya amplop?

Secara normatif, kebebasan pers (disebut pula Kemerdekaan Pers) adalah kebebasan mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi melalui media massa. UU No. 40/1999 tentang Pers menyebutkan, kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, bahkan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran (Pasal 4 ayat 1 dan 2).
Penyensoran yaitu penghapusan secara paksa materi informasi, teguran atau peringatan yang bersifat mengancam, atau izin bagi kegiatan jurnalistik. Pembredelan yaitu penghentian penerbitan, peredaran, atau penyiaran. Pihak yang mencoba menghalangi kemerdekaan pers dapat dipidana penjara maksimal dua tahun atau dena maksimal Rp 500 juta (Pasal 18 ayat 1).
Meskipun demikian, kebebasan pers bukan kebebasan mutlak. Ia dibatasi dengan kewajiban menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah (Pasal 5 ayat 1). Wartawan atau kalangan pers juga diwajibkan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.
Hubungannya dengan budaya amplop, jika wartawan tidak menghentikan praktik amplopisme, maka kebebasan pers yang sudah ada saat ini tidak ada artinya. Amplop justru mengekang wartawan dalam bertugas, bisa menghilangkan independensinya. Dengan kata lain, menerima amplop berarti menggadaikan kebebasan itu. Wartawan “dikendalikan” oleh si pemberi amplop. Maka, mari kita perangi praktik amplopisme, sekarang juga!