Saturday, October 29, 2005

PEMIMPIN TOLOL

KETIKA memasuki H-5 (Sabtu, 29/10/2005) menjelang Idul Fitri 1426 H (Muhammadiyah memastikan lebaran Kami, 3/10/2005) suasana kantor dan iklim kota Jogja sudah berbau lebaran. Di kantor, yang biasanya ramai hingga tengah malam, detik ini sudah sepi. Kawan-kawan pulang awal. Suara gemeretak mouse di-klik pun tak seramai biasanya. Jalan-jalan protokol Jogja sudah dipenuhi ribuan kendaraan, baik roda empat maupun dua, yang jelas didominasi kendaraan ber-plat nomor luar kota, terbanyak Jakarta.

Entah apa yang ada di pikiran pemudik yang berjibaku di Jakarta mencari fulus untuk keluarganya itu di Jogja menjelang lebaran kali ini. Mereka pasti disibukkan keinginan membeli barang konsumtif (jangan heran, negara kita dipenuhi orang macam ini) untuk lebaran. Entah itu pakaian, makanan maupun barang ‘’untuk keperluan gengsi’’ macam handphone dan alat listrik lain. Padahal, semua barang harganya merangkak naik, bahkan banyak pula yang meroket. Dasar orang kita, tak apa bisa membeli, padahal uang didapat dari hutang tetangga. Duh.

Belum lagi melihat ulah segelintir pegawai negeri yang bekerja di instansi negara. Tak malu mereka menggunakan mobil berplat merah untuk mudik ke kampung halaman. Tak malu mobil milik kita itu dia pakai piknik ke objek wisata. Mobil hasil beli dari uang pembayar pajak itu, termasuk duit aku juga, mereka gunakan untuk keperluan pribadi, tak malu lagi, gimana coba? Mana nurani mereka, moral mereka? Sudah menjadi barang yang lenyap dari bumi kita yang namanya nurani dan moral itu.

Janganlah berbicara etika jika moral dan nurani tak ada. Sudah jelas memakai mobil milik pembayar pajak, Gubernur DKI Sutiyoso yang mantan militer itu, enteng membela pegawai negeri pemakai mobil plat merah itu (kalau di tempatku dinamakan mobil belek-en atau sakit mata karena merah warna platnya). ‘’Biar saja mereka memakai mobil plat merah untuk mudik, mereka kan sudah merawat mobil plat merah itu. Wajar jika mereka memakainya untuk mudik.’’ Lhadalah, emang dia mikir nggak sih bicara seperti itu?

Ketika si pegawai negeri pemakai mobil plat merah itu melakukan perawatan mobil milik kita itu pakai duitnya siapa? Mereka pasti memakai duit dari kantor mereka bekerja (juga duit kita juga sebagai pembayar pajak) untuk merawat mobil mereka. Entah servis mesin atau mencucikan mobil belek-en itu. Bukan duit mereka pribadi, duit kita juga.

Kesimpulannya? Ya itu tadi. Namanya moral dan nurani sudah hilang dari bumi Indonesia, negara yang sulit untuk maju karena pemimpinnya hanya memikirkan perut mereka sendiri. Kalaupun tidak, mereka memikirkan partai dimana dia dulu dibesarkan dan hutang budi. Alih-alih memikirkan rakyat bawah yang berebut dana kompensasi kenaikan harga BBM, mereka malah memperkaya diri sendiri. Bagaimana caranya? Ya korupsi dong. Dengan berbagai cara, mereka mampu mengubah istilah korupsi dengan istilah baru yang mampu membutakan rakyat bahwa sebenarnya mereka telah merampok uang kita pembayar pajak.

Tengok bagaimana anggota DPR RI kita menambah tunjangan sebulan Rp 10 juta, total take home pay yang mereka terima sekitar Rp 38 juta, belum termasuk pemasukan dari uang sidang, uang rapat dan sebagainya. Belum lagi uang terima kasih, uang kunjungan dan sebagainya. Padahal itu semua adalah korupsi, bagaimana pun mereka berkelit, menurut saya tetap korupsi. Ya korupsi. Dengan memberi tag name ‘’lebih halus’’.

Jadi kita pembayar pajak harus bagaimana menyikapi pemimpin-pemimpin tolol seperti itu? Bubarkan saja Indonesia. Ganti orang-orangnya. Diganti makhluk hidup dari Planet Mars. Huh, sudah cukup kita dibuat bingung dan dibodohi mereka. (iwa)

No comments: